Januari, yang Datang dan yang Pergi

Dulu, bagi saya, bulan Januari tak ubahnya bulan-bulan yang lain dalam kalender masehi. Tak terlalu istimewa. Tapi sekarang, Januari menjadi istimewa, sebab di bulan inilah ada yang pergi, tapi ada juga yang datang.

Tulisan ini anggap saja sebagai cara saya mengabadikan setiap momen penting bagi saya. Mengabadikannya di awan, tempat saya bisa membacanya lagi dan lagi, dan merawat kenangan saya akan mereka semua. Menjadi warisan cerita untuk anak-anak dan keturunan saya nanti.

Bulan-bulan istimewa dalam hidup saya adalah: Maret (bulan kelahiran adik saya, si nomor tiga) April (bulan lahir 2 adik dan papa saya), Mei (kelahiran saya), Juni (kelahiran Mama saya). Setelah menikah dan punya anak, bulan-bulan istimewa lainnya adalah: Juli (kelahiran istri dan hari pernikahan saya), April (kelahiran anak kedua saya), Oktober (kelahiran anak pertama saya), dan akhirnya Januari menjadi masuk dalam deretan penting karena bulan ini, bocah lelaki anak bungsu saya lahir.

Tapi kemudian Januari menjadi bulan yang kelabu.

Sebab di bulan inilah, adik saya: Dasdo Asian Sinaga, pergi. Orang pertama yang berpulang dalam keluarga kecil saya. Saya ingat, saya masih di kantor ketika mendengar kabar dia kritis. Waktu itu, tahun 2013, saya masih bekerja di Harian Detik.

Saya mencoba mengajaknya bicara, tapi kata-katanya sudah sulit saya mengerti. Tak berapa lama, kabar itu pun datang. Dia berpulang. 15 Januari 2013. Hampir 35 tahun sejak kelahirannya, 3 April 1978.

Saya menulis status di Facebook: “…sudah pergi. Selamat jalan adikku, dasdo asian sinaga, aku selalu mengasihimu. Tuhan juga lebih dulu mengasihimu.”

Cerita sedih ini berlanjut empat tahun kemudian. Kali ini giliran papa saya: Nukman Sinaga.

Sepeninggal Ian, tampaknya kondisi kesehatan papa menurun terus. Pertengahan 2015 saya dan keluarga memutuskan pulang kampung ke Pematang Siantar, beberapa bulan setelah anak bungsu saya, Eugene Yabes Rafaell Sinaga, lahir. Tak tergambarkan betapa senang dan bangganya dia menggendong cucu laki-laki dari anak pertamanya. Kalau kalian orang Batak, pasti kalian paham perasaan itu. Sejak saat itu, papa saya dipanggil Ompung Yabes.

Kami puaskan hari-hari di Siantar bersama dengan papa dan mama. Kami berusaha mengajak mereka berekreasi, ke Timuran, ke Danau Toba. Menemani mereka konsul ke rumah sakit, walau kemudian hampir setengah hari kami di sana menunggu.

Beberapa bulan setelah itu, saya masih sempat ada penugasan ke Dairi, SUMUT. Saya menyempatkan mampir ke rumah orang tua, menengok mereka. Kondisi papa tak lebih baik. Desember 2015 saya dan keluarga pergi berlibur ke Solo dan sekitarnya. Tapi kondisi papa yang memburuk membuat perjalanan liburan itu sama sekali tak terasa nyaman. Rasanya kalut bercampur sedih. Mama rajin mengabari saya kondisi papa, dan saya berusaha membesarkan hati dan mendorong semangatnya.

Pergantian tahun 2015 ke 2016 berjalan benar-benar hanya seperti detak jam. Pikiran saya tak hentinya terbang ke kamar tempat papa sedang terbaring di rumah sakit Murni Teguh, Medan dengan kondisi yang kian hari kian menurun. 3 Januari 2016. Saya memutuskan pulang dan hendak memesan tiket pesawat. Tapi papa tak mau menunggu. 4 Januari 2016 dini hari, dia pergi. 63 tahun setelah kelahirannya: 23 April 1953.

Sejak itu semua, Januari tak pernah sama lagi.

Apa kabar kalian di sana? Papa, mama, dan Iyan?