‘Penyelundupan’ Orang, Mudik, Masa Lalu, dan Covid-19

Hari-hari ini ramai sekali saya tengok yang markombur (ngobrol) soal orang-orang yang nekat mudik meski sudah dilarang sama pemerintah. Kalau saya baca di Detik.com (silakan akses di sini), banyak cara mereka bikin asal bisa mudik. Malah, katanya lahir pula bisnis baru di tengah pandemi COVID-19, yaitu ‘penyelundupan’ orang ke kampung halaman.

Tak sedikit saya terima kiriman video atau foto orang-orang yang mudik tapi tak pakai angkutan publik yang lazim. Terakhir adalah video tentang orang-orang yang katanya mudik naik truk kontainer. Kek barang kiriman saja.

Tak bisa saya tebak apa yang ada di pikiran orang-orang itu. Saya juga tak berniat menghakimi perilaku mereka. Mungkin kepepet. Pandemi COVID-19 mungkin membuat mereka kehilangan mata pencaharian. Sehingga terpaksa mereka mudik, apapun cara dan risikonya. Kalau naik bus umum gagal, naik truk kontainer pun jadilah.

Saya juga tak menyalahkan orang-orang yang ‘jeli’ melihat peluang usaha di tengah krisis ini. Ibarat hukum ekonomi, ada demand ada supply. Yang ada dalam pikiran saya, cuma soal risiko yang dapat ditanggung orang-orang itu.

Jelas, menggunakan truk segala ukuran, termasuk truk kontainer, untuk mudik, berbahaya sebab tidak sesuai dengan peruntukan kendaraannya. Tapi itu adalah rahasia umum, bukan? Dulu-dulu banyak kok yang melakukannya. Alasannya, ongkosnya lebih murah/terjangkau. Kalau dalam konteks COVID-19, tujuannya adalah menghindari penyekatan.

Saya juga pernah seperti mereka. Waktu saya kecil, saya, keluarga, dan tetangga pernah rekreasi ke Berastagi menumpang truk bak terbuka yang ditutupi terpal. Dengan truk seperti itu juga, saya dan anggota pramuka di SMP dulu, pergi berkemah. Jelas, peruntukan kendaraan ini bukan untuk mengangkut manusia. Tapi, dulu saya tak pernah memikirkan risiko dan bahayanya, asik-asik saja kayaknya.

Waktu saya duduk di SMA, setiap akhir bulan biasanya saya pulang ke Pasir Mandoge (tentang tempat ini, simak ceritanya di sini). Pulangnya naik bus umum memang. Tapi yang tak umum adalah, sebagai anak sekolah (yang ongkosnya setengah penumpang umum) harus rela diatur oleh kenek (kondektur). Terutama, harus rela naik di kap (bagian atas bus) kalau penumpang umum makin penuh. Padahal kap bus itu untuk tempat barang. Lama-lama terbiasa dan jadi kebiasaan.

Dulu bus antar kota Siantar-Pasir Mandoge adalah sejenis bus 3/4. Sekarang sudah ganti minibus, lebih ringkas dan hemat minyak (BBM) kata tukang angkot di sana. Tapi yang tak berubah adalah kebiasaan naik di kap itu. Adik-adik generasi sekarang masih kek gitu katanya. Alamak!

Image by Nico Boersen from Pixabay

Dulu, duduk di atas kap bus, bersama dengan puluhan anak sekolah lain, bersanding dengan barang, tanpa penahan angin, dijemur di matahari, kadang kena hujan, adalah pilihan satu-satunya. Tak boleh protes, kecuali mau begado (berkelahi) dengan kenek atau supir. Saya belajar menjalani proses itu semua dengan sabar dan ikhlas. Risiko jadi anak sekolah, begitu pikirku waktu itu.

Kalau bus mau melintas di area TNI, khususnya area Batalyon Infanteri 122/Tombak Sakti Kodam I Bukit Barisan, yang dikelilingi kebun sawit di Marihat, maka penumpang di kap akan ditutupi dengan terpal, supaya tidak dicegat tentara dan disuruh turun. Persislah kayak barang itu. Rasanya ya macam-macam. Ya panas, ya bau, dan sebagainya. Apalagi kecepatan bus harus di bawah 20km/jam. Lengkaplah sudah penderitaan itu.

Sepanjang ingatan saya, bus yang saya tumpangi belum pernah dicegat tentara di areal perkebunan sawit itu. Tapi kadang saya dengar cerita, ada juga yang sial. Mereka dicegat. Penumpangnya disuruh turun dari kap. Supir dan kenek dihukum push up.

Tapi saya dan bus yang saya tumpangi selalu lolos. Sekitar 200 meter dari markas tentara, terpal pun dibuka dan kami ceria lagi. Karena udara sudah berganti segar. Maaf ya bapak-bapak tentara, kalau sering menjadi ‘komplotan’ yang mengelabui Anda.

Risiko lain di atas kap adalah kalo terserang ngantuk. Alamak. Ini mengerikan. Bisa kalian bayangkan mengantuk di atas bus tanpa pengaman? Saya pernah hampir mau jatuh, untung cuma kaget dan cepat-cepat cari pegangan. Kantuk langsung lenyap berganti jantung berdegup kencang.

Risiko berada di kap mobil tidak hanya itu. Yang celaka pun ada. Saya pernah mendengar cerita bus yang kelebihan muatan, lalu celaka. Yang as rodanya patah, yang busnya terguling masuk jurang, dan lain-lain. Korbannya, ya ada juga dari anak-anak muda yang di atas bus itu. Walaupun kata teman saya, kalau kita di atas, sebetulnya kita bisa lebih waspada, bisa siap-siap. Tapi siapa yang mau celaka, iya kan?

Saya membayangkan itulah yang dialami para pemudik yang naik truk atau truk kontainer itu. Saya tak tahu apakah kontainer mereka punya ventilasi udara yang cukup atau bagaimana. Saya tak tahu apakah mereka umpel-umpelan di bak truk atau dalam kontainer atau bagaimana. Yang jelas, semua itu berpotensi bahaya. Sebab semuanya tidak semestinya. Truk bak terbuka atau kontainer bukan untuk mengangkut orang. Begitu juga kap-kap bus.

Jadi, ya intinya, sebaiknya sabarlah bapak/ibu. Tujuan dari mengkarantina diri ini simpel kok, supaya lebih cepat COVID-19 ini berlalu. Supaya kita bisa keluar lagi. Supaya kita bisa berusaha dan bekerja lagi. Anak-anak pun bisa sekolah lagi. Untuk mereka yang kesusahan, ayok bantu meringankan beban mereka. Mari memberikan bantuan, apapun yang kita bisa. Kecil atau besar tak masalah. Semua akan bermanfaat, daripada kau sibuk menyinyir saja!

Kalian yang berada di area PSBB, please jangan keluar rumah kalau tak penting kali. Kalau terpaksa keluar, gunakanlah masker dan rajin-rajin cuci tangan.

###

Image by Nico Boersen from Pixabay

Leave a Reply