Belajar dari Masa Lalu, Persahabatan yang Melampaui Perbedaan

Tiba-tiba seorang teman masa kecil mengujar protes dalam kolom komentar di akun Facebook saya. “Kok nama saya enggak disebut dalam kisah masa kecilmu?” kata dia, memecah konsentrasi saya di acara pertemuan orang tua murid hari ini, Sabtu (13 Juli 2019).

Terasa ada humor di sana. Sebab saya tahu, dan dia pun tahu, kebersamaan masa kecil kami tidak mungkin terlupakan. Itu slot ingatan yang di-lock dan tak mungkin auto-delete.

Saya bersekolah di SD Methodist Pematang Siantar. Sebuah sekolah swasta di mana saya kemudian pertama kali mengenal konsep pribumi – nonpribumi. Jangan salah sangka. Bukan bermaksud rasis. Tapi faktanya begitu. Saya yang sebelumnya tak punya konsep “pri-nonpri” di memori kanak-kanak saya, malah diperkenalkan konsep itu di sana.

Tapi tak pentinglah. Bukan itu inti tulisan ini. Hal yang mau saya ceritakan adalah tentang persahabatan dan persaingan yang sehat, melampaui dikotomi pri-nonpri tadi. Menurut saya, cerita ini lebih bermanfaat untuk masa kini dan masa depan.

Singkatnya, saya dan teman saya itu, Suwandi namanya, menjadi teman sekaligus saingan. Setidaknya di kepala saya. Soalnya, lelaki itu tak mungkin disaingi di ranah intelektualitas. Dia mungkin tak menganggap saya pesaing. Wong seberapa keras pun saya belajar, takkan mungkin menyaingi dia.

Tapi untuk bidang lain, seni dan olahraga, saya bolehlah menepuk dada. Soalnya teman saya ini memang otaknya yang encer dan lentur tapi tidak dengan raganya. Dia kesulitan dalam sejumlah cabang olahraga yang membutuhkan kelenturan dan kebugaran raga. Hehe.. sorry brother. Just kidding.

Tapi sekali lagi, bukan itu yang penting.

Hal terpenting adalah persahabatan kami yang melintasi semua perbedaan dan keterbatasan, termasuk waktu. Sehingga meski sudah puluhan tahun tak bertemu, saya percaya kedekatan itu tetap sama.

Jadi tak hanya berteman di kelas, Suwandi juga adalah teman seperjalanan ke sekolah. Dulu kami masuk siang dan seringkali (sebab memang tak setiap hari juga) saya akan menyamper dia ke rumahnya lalu kami berjalan bersama ke sekolah.

Saya ingat, rumahnya ada di dalam sebuah gang dan di depan ada rumah yang memelihara anjing herder besar sekali. Sering anjing itu menyalak saat saya lewat dan suaranya sungguh menggetarkan jiwa.

Ketakutan saya akan berganti senang sebab mamanya Suwandi yang amat baik hati itu pasti akan menawari saya makan siang. Masakan beliau sungguh wangi dan rasanya enak sekali. Setelah makan, barulah kami berangkat.

Saya merasakan kasih yang tulus dari seorang ibu. Terus terang, tinggal jauh dari orangtua pada masa kecil saya, sedikit banyak berpengaruh juga. Saya butuh kasih sayang itu dan saya kira, dengan caranya sendiri, mama Suwandi ikut berkontribusi dalam memberikan perasaan dikasihi dalam diri saya. Dan itu adalah perasaan yang sangat berharga.

Saya tak tahu apakah mamanya Suwandi mengingat saya. Tapi itu tak penting, sebab buat saya, apa yang Suwandi dan keluarganya beri telah banyak membentuk saya. Untuk menghargai perbedaan ras untuk menerima orang lain apa adanya. Untuk mengasihi orang lain terlepas apapun latar belakangnya.

So..brother. Inilah kisah kita, yang selalu kuingat dan kuceritakan pada anak-anakku. Semoga di luar sana pun ada kisah-kisah seperti kita, sehingga damailah di negeri dan di Bumi.

Leave a Reply