Saya tidak akan pernah lupa kerusuhan Mei 1998. Meski tak berada di Jakarta ketika kerusuhan pecah tanggal 13, saya menyaksikannya dari siaran berita di rumah seorang teman di Yogyakarta. Waktu itu saya dan beberapa teman mahasiswa arkeologi UI sedang bertandang ke Yogya sebelum berangkat menghadiri pertemuan ilmiah mahasiwa arkeologi se-Indonesia di Karanganyar.

Yogyakarta juga memanas. Saat kami tiba di Yogyakarta, teman-teman di UGM bercerita bahwa kemarinnya ada pasukan yang merangsek masuk ke kampus mereka dan salah satu mahasiswa senior arkeologi UGM kabarnya tertembak, meski tak fatal.
Tepat saat Jakarta rusuh, Yogyakarta mencekam. Yogyakarta menggelar jam malam dan Malioboro sepi bak kota tak bertuan. Tapi tak separah Solo. Sepanjang perjalanan dari Yogya ke Karanganyar melewati kota Solo, kami melihat kerumunan massa dan pembakaran. Bus kami bahkan sampai melipir ke desa-desa untuk menghindari itu. Di Karanganyar, bus kami sempat terkena lemparan batu dari massa yang sedang membakar dan menjarah toko-toko. Untung seruan, “Tahan.. kami mahasiswa..!!” bisa meredam amuk massa.
Di tengah suasana mencekam begitu, pertemuan ilmiah tetap digelar di Karanganyar. Pada tanggal 14 Mei malam, dari lereng Gunung Lawu, kami melihat Kota Solo bak ‘taman api’, ada kebakaran di mana-mana. Melihat situasi itu, keesokan harinya pertemuan ilmiah itu pun ditutup lekas. Sesampainya di Yogyakarta, kami memutuskan segera pulang ke Jakarta, sebab beberapa anggota rombongan kami khawatir keluarga dan rumah mereka menjadi korban kerusuhan.
Di Jakarta, saya hanya menyaksikan jejak-jejak kerusuhan yang memilukan hati. Supermarket GORO dan Robinson Pasar Minggu habis dijarah dan sebagian dibakar. Saya mendengar di Depok begitu. Toko sepatu BATA di perempatan jalan Karya Pemuda dekat Stasiun Depok Baru juga habis dijarah dan dibakar.
Tetangga-tetangga saya di Kebagusan, Pasar Minggu, malah dengan bangga mengaku ikut menjarah ruko-ruko di Robinson, Pasar Minggu. Ada yang mendapat TV, kulkas, kompor gas, dan sebagainya. Bikin hati miris.
Saya mendengar berita pusat perbelanjaan di Klender, Jakarta Timur, juga dibakar dengan banyak korban penjarah yang mati terkurung di dalamnya. Berita kerusuhan menjadi headline di koran-koran, radio, dan televisi. Saya juga mendengar dan membaca berita tentang pemerkosaan massal terhadap etnis tionghoa di Jakarta. Sampai sekarang, kasus ini tak kunjung terungkap pelaku dan dalangnya.
Pada tanggal 19 Mei 1998 saya bergabung dengan ribuan mahasiswa yang menduduki gedung DPR/MPR, menuntut turunnya Presiden Soeharto. Cerita tentang ini, kalian bisa baca di tulisan saya yang dimuat CNNIndonesia.com beberapa tahun lalu. Di sini: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20160518201353-21-131755/cerita-memalukan-di-balik-pendudukan-dpr-mei-1998
Kerusuhan Mei adalah fakta. Bangsa ini pernah mengalami pergantian rezim dengan tumbal yang sangat mahal. Diawali dengan penembakan mahasiswa Trisakti tahun 1997, setahun kemudian terjadi tragedi Semanggi I dan II, menyusul kerusuhan Mei 13-15 Mei 1998. Saya tidak akan melupakan itu semua dan tulisan ini juga dimaksudkan supaya anak-anak saya juga tidak lupa sejarah kelam itu.
Sejarah perlu diingat sebagai pembelajaran bagi generasi mendatang. Saya tak tahu siapa dalang di balik semua itu. Tapi yang saya rasa, kerusuhan itu terlalu besar untuk dianggap sebuah peristiwa kebetulan. Terasa sangat sistematis dan terstruktur dengan dampak yang sangat besar. Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya.