Tsunami terjadi di Selat Sunda. Ribuan orang merasa berduka. Ada yang kehilangan, ada yang terluka. Sampai artikel ini saya tulis, lebih dari 200 orang meninggal dunia dan ribuan orang terluka. Ada juga korban yang masih belum ditemukan.
Lalu bulan ini juga, melalui kabar dari berbagai tempat, beberapa teman baik kehilangan orang terkasihnya. Ada yang kehilangan suami/istri, anak, dan orang tuanya. Ikut merasa sedih dalam rasa kehilangan mereka.
Desember beberapa tahun lalu juga terasa berat bagi saya. Desember ketika adik terkasih dalam kondisi berat. Lalu pada Januari dia berpulang ke rumah Bapa. Pun Desember, ayah tercinta dalam kesakitan yang begitu rupa. Lalu pada Januari dia meninggalkan kami semua.
Lantas bagaimana merayakan Natal dalam Desember yang muram?
Saya teringat. Natal pertama sebetulnya terjadi dalam keadaan yang berat. Ribuan tahun umat Tuhan berteriak dalam kungkungan dosa mereka. Menunggu kelepasan. Menunggu penyelamatan.
Sebelum kelahiran-Nya, berabad-abad mereka jatuh ke dalam tangan bangsa-bangsa oleh karena sikap hati mereka. Mereka terkurung sakitnya sebagai bangsa terjajah. Tak hanya terjajah dosa, mereka juga dijajah manusia.
Tapi justru itulah, Natal hadir sebagai jawaban Tuhan. Untuk memberikan pengharapan dalam keadaan yang menyakitkan. Natal memberikan jawaban, tentang harapan setelah kematian.
Natal menjadi berarti, ketika dalam keadaan sedih luar biasa kita bisa berkata: Oh Tuhan Engkau begitu Hebat. Kasih-Mu sungguh dahsyat.
Begitulah seharusnya Natal dirayakan. Sebab Natal sejatinya bukan tentang pesta pora. Bukan tentang potongan harga. Bukan tentang musik dan hiasan-hiasan belaka.
Begitulah Natal saya. Bagaimana dengan Natal kalian?