Minggu (6 Mei 2018) kemarin papa mertuaku, Sugeng Supriadi, wafat. Sosok yang tak ubahnya papaku sendiri di perantauan. Sosok yang menerimaku apa adanya, sejak sepermula kenal, dan sejak kunyatakan diri sebagai kekasih putrinya, belasan tahun lalu. Kepergiannya membuatku terasa sangat kehilangan.
Sudah ada empat pria berpengaruh yang berpulang terlebih dahulu. Pada tulisan ini, aku ingin mengabadikan kenangan akan mereka.
Didahului oleh kakak iparku, Sony Supriadi, pada 13 Juli 2007. Kepergian yang mendadak banget.
Dia seorang lelaki sederhana yang baik hati. Ko Sony, begitu dia akrab kupanggil, adalah sosok yang ringan tangan membantu. Kalau mengingat perjalanan hidupnya, adalah semata-mata anugerah Tuhan sehingga lelaki itu menjadi sosok yang kukenal dan akan terus kukenang seumur hidup.
Kemudian adikku nomor dua, Dasdo Asian Sinaga, menyusul pada 15 Januari 2013. Dari kami berempat bersaudara, aku dan Ian memang paling dekat. Sejak kecil kami banyak bermain bersama, bertengkar, baikan lagi, dan sebagainya. Aku ingat ketika dulu dia bersekolah dengan ompung di kampung, tiba-tiba dia minta diantar pulang ke Mandoge. Sebelum pulang dia mampir ke Siantar dan di sana, melalui perbincangan kami, aku merasakan betapa pahit pengalaman yang dia alami di kampung.
Saban aku pulang kampung ke Siantar dan Mandoge, Ian adalah tempatku bercerita dan bertanya segala update yang ada di kampung halaman. Dia banyak mengenal orang dan keluarga. Sedang aku bukan tipe seperti itu. Aku juga bukan orang yang mudah mengingat orang, apalagi kalau ketemunya jarang-jarang. Sehingga dengan bantuan Ian, aku bisa mengupdate segalanya.
Ketika dia sakit, rasanya sedih nian. Sepertinya setengah bagian diriku ikut menderita dengannya. Dalam perbincangan kami, pelukan dan tangisan kami bersama, tak ada kata-kata yang bisa menggambarkan betapa hangatnya semua itu. Ketika Ian meninggal, tak bisa kugambarkan betapa hancurnya hatiku.
Lelaki ketiga yang kemudian pergi adalah papa, Nukman Sinaga. Pada 5 Januari 2016. Dia sakit dalam waktu cukup lama. Tapi aku bersyukur Tuhan memberinya waktu untuk menggendong cucu lelakinya, Eugene Yabes Rafaell Sinaga, waktu kami pulang kampung.
Papa memang bukan sosok yang banyak bicara. Bahkan kepada anak-anaknya, khususnya aku. Sebab, karena sejak kelas 1 SD aku disekolahkan ke Siantar. Jadi tak banyak komunikasi yang kami jalin selama masa aku tumbuh. Tapi aku menyadari betapa aku mengasihi dia. Sifatnya sedikit banyak mirip denganku.
Kemudian, orang keempat yang pergi adalah papa mertuaku, pada 6 Mei 2018. Terkena stroke sekitar 7 tahun lalu, kondisinya menurun sekitar satu bulan sebelum berpulang. Aku menyadari, sejak pindah rumah dari rumah mertua, aku kurang banyak memberikan waktu bersama beliau.
Dulu waktu masih tinggal bersama, kalau ada waktu, kami akan berbincang-bincang lama dan papa akan mendominasi dengan cerita-ceritanya tentang masa lalu. Cerita yang selalu menginspirasiku. Tapi setelah kami pindah, momen-momen seperti itu jarang terjadi.
Merekalah empat lelaki yang penting dan berperan dalam hidupku. Dengan caranya masing-masing, mereka menginspirasi orang lain, termasuk aku. Pasti kalian berempat sudah bertemu di dunia peristirahatan kalian. Sampai bertemu lagi di sana ya. Sebab kematian adalah keniscayaan. Tapi kasih itu abadi.