Kau mamakku, kau Ibu. Dulu aku takut padamu. Ketika amarahmu tiba, kau lampiaskan dengan keras. Tak ingin kugambarkan bagaimana kau meninggalkan bilur-bilur di kakiku, atau bekas memerah di perut dan pipiku. Kelak kusadari, itu kau lakukan karena kau mencintaiku.
Sedang aku, dan adik-adikku, terlalu sering berbuat kenakalan yang mengesalkanmu, Ibu. Tapi kami anak lelaki. Kenakalan salah satu cara kami mengisi hari.
Kau mamakku, kau ibu. Kaulah yang melatih kami terbang dan menjelajah dunia. Kepercayaan yang kau beri, menyingkapkan banyak hal pada pengalaman keremajaan kami. Mungkin karena kami anak lelaki. Sehingga kau merelakan kami pergi tanpa jerih di hati.
Bahkan, mungkin di saat aku masih butuh banyak waktu mendekat kamu, kau merelakan aku menginjak bumi dan langit yang jauh. Tak bisa kuceritakan, seberapa banyak tangis yang berderai, waktu kulihat kalian tertinggal menjauh.
Mamak, kupanggil kau begitu, sejak sepermula bisa bicara aku. Saban kucari sosokmu pada kerinduan yang menyergap kesendirian masa kanak-kanakku. Saban kulihat kau menungguku di rumah masa kecilku. Atau pada keterkejutan alami, waktu ku pulang tanpa berkabar sebelumnya.
Kau mamakku, kau Ibu. Sosok tegar yang perlahan merapuh tubuh bersama waktu. Namun kau tak pernah mengeluh pada kemanusiaan yang luruh. Angin, badai, pernah kau tempuh. Sejuta tangis dalam teriak dan bisu, melintasi umur hidupmu.
Jangan nafikan juga selaksa suka dan gembira, dalam tawa dan cita yang kita bangun bersama. Kau, bapak, dan adik-adikku. Pada perjalanan waktu kita. Sejak kau memutuskan bersatu daging dengannya. Lalu hadirlah kami, sejak dari garba grhamu.
Kau mamakku. Kau Ibu.