Natal dan Pembelajaran dari Kisah Maria

Natal akan selalu mengingatkan saya pada kisah Maria yang didatangi Malaikat Gabriel dan mendapat pesan bahwa dia akan mengandung bayi Yesus.

Mari kita lihat Lukas 1:26-38. Ayat pokoknya 34-35: Kata Maria kepada malaikat itu: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” Jawab malaikat itu kepadanya: “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.

Pesan yang luar biasa untuk seorang perempuan sederhana. Tapi pernahkah kita menyadari bahwa penugasan kepada Maria adalah penugasan yang sangat berat dan berisiko tinggi? Maria ini harus mengandung bayi Yesus pada saat dirinya belum menikah.

Ada ancaman besar bagi perempuan yang hamil di luar nikah pada masa itu. Mereka akan disebut berzinah dan hukumannya adalah dirajam, dilempari dengan batu sampai mati.

Apakah Maria tidak menyadari risiko itu? Saya yakin Maria sangat menyadari hal itu. Tapi kita tahu, Maria rela menanggung penugasan tersebut.

Dari Maria kita akan belajar soal ketaatan dan keyakinan, bahwa ketika Tuhan memberi penugasan, Tuhan sendiri akan menyediakan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk mengerjakannya. Amsal 2:7 berkata: Ia menyediakan pertolongan bagi orang yang jujur, menjadi perisai bagi orang yang tidak bercela lakunya.

Pertanyaannya, bagaimana ketaatan Maria tumbuh dan akhirnya membuat dia berani menaati penugasan Tuhan? Berikut ini tiga dasarnya:

Pertama: milikilah kesaksian hidup yang istimewa di hadapan Tuhan

Malaikat Gabriel mendeskripsikan Maria sebagai seorang yang dikaruniai dan disertai Tuhan (ayat 28).

Seseorang akan dikaruniai dan disertai oleh Tuhan apabila dia memiliki kualitas moral yang berkenan kepada Tuhan. Maria adalah seorang gadis perawan yang menjaga kesucian dan perilakunya.

Pada diri Maria, kita menemukan kebaikan hati dan kesalehan yang istimewa. Seberapa istimewa? Begitu istimewanya sehingga Tuhan berkenan padanya dan mempercayakan pekerjaan besar baginya: mengandung bayi Yesus yang mulia.

Saya kira itulah prasyarat yang penting dan mendasar kalau kita mau mendapat kepercayaan Tuhan. Tak boleh kompromi, apalagi berkompromi dengan nilai-nilai dunia yang makin hari makin menyesatkan. Dunia yang makin mengaburkan batas antara kebenaran dan dosa.

Kedua, apapun penugasan kita, sadari bahwa itu sangat penting

Setelah menyampaikan betapa Maria mendapat kasih karunia Tuhan, Malaikat Gabriel kemudian merinci tugas Maria. Pada ayat 31 disebut: Sesungguhnya engkau akan mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki dan hendaklah engkau menamai Dia Yesus.

Lebih lanjut Gabriel menegaskan siapa Yesus itu: “Yesus akan menjadi besar dan akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Tuhan Allah akan mengaruniakan kepada-Nya takhta Daud, bapa leluhur-Nya. Yesus akan menjadi raja atas kaum keturunan Yakub sampai selama-lamanya dan Kerajaan-Nya tidak akan berkesudahan.”

Pada bagian ini ditekankan betapa hebat dan besarnya tugas yang diberikan Tuhan kepada Maria. Sebuah paradoks yang mengesankan. Bagaimana seorang yang biasa seperti Maria, dipakai untuk melakukan tugas yang luar biasa.

Saya kira, begitulah cara Tuhan bekerja bagi setiap orang setia yang dipanggil-Nya. Tuhan akan memberikan kita tugas-tugas yang besar, yang penting, yang hebat, meski kadang terasa sangat jauh melebihi kemampuan kita.

Dalam ukuran manusia, kita mungkin tidak bijak, tidak berpengaruh, tidak terpandang.

Tapi 1 Korintus 1: 27-29 berkata: Tetapi apa yang bodoh bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan orang-orang yang berhikmat, dan apa yang lemah bagi dunia, dipilih Allah untuk memalukan apa yang kuat, dan apa yang tidak terpandang dan yang hina bagi dunia, dipilih Allah, bahkan apa yang tidak berarti, dipilih Allah untuk meniadakan apa yang berarti, supaya jangan ada seorang manusiapun yang memegahkan diri di hadapan Allah.

Ketiga, mengedepankan tindakan iman

Setelah mendapat penjelasan mengenai penugasannya, Maria memberikan respons yang menarik: “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (ayat 34).

Lewat pertanyaan ini, Maria ingin mengonfirmasi bagaimana Tuhan akan memecahkan persoalan-persoalan logis yang akan dia hadapi kalau dia menerima penugasan tersebut. Maria mempertanyakan bagaimana mungkin secara biologis dia hamil, sementara dia sendiri belum pernah berhubungan seksual dengan siapapun?

Maria juga mempertanyakan solusi untuk masalah yang akan terjadi karena kehamilan itu. Apa kata masyarakat? Bagaimana dengan kemungkinan bakal tuduhan berzinah dan dirajam? Apa pula nanti kata Yusuf, calon suaminya?

Tak ada salahnya menyodorkan pertimbangan akal saat menerima penugasan dari Tuhan. Tapi kita harus terbuka pada kemungkinan bahwa penjelasan yang akan kita terima melampaui akal kita.

Gabriel menjawab bahwa masalah biologis itu bukan soal sebab Maria akan mengandung dengan kuasa Roh Kudus. Sebab Yesus harus lahir dari seorang perawan, sebab Ia kudus. Bayi Yesus tidak dikandung melalui pertemuan sel kelamin yang membawa benih-benih dosa.

Bagaimana seorang perawan bisa mengandung dan melahirkan? Di situlah terletak kuasa Tuhan yang tak bisa dijelaskan dengan akal kita, kecuali diterima dengan iman kita.

Tentang masalah-masalah lain, Gabriel berkata jangan takut, sebab kuasa Tuhan Allah yang Mahatinggi akan menaungi Maria. Faktanya, Maria tetap aman dan jauh dari risiko-risiko yang dikhawatirkannya.

Mempertimbangkan hal-hal logis saat menerima penugasan dalam pelayanan saya kira wajar sekali. Tapi sadarilah bahwa selalu ada keterbatasan akal dalam memahami bagaimana Tuhan akan memakai. Di situlah saatnya kita mengandalkan iman.

Memang logis memikirkan kelangsungan hidup kita, masa depan kita, atau penolakan yang akan kita terima saat memberikan diri jadi hamba Tuhan. Tapi kita harus tunduk pada fakta bahwa apa yang mustahil bagi kita, itu niscaya bagi Tuhan.

Penutup

Pada akhirnya, Maria menerima tugas itu dengan sikap sederhana: “Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan; jadilah padaku menurut perkataanmu itu.”

Pada Lukas 1:46 sampai seterusnya, Maria menyanyikan lagu pujian yang menggambarkan isi hatinya setelah menerima penugasan tersebut. Dia sangat memuliakan Tuhan.

Dia bersyukur bahwa orang miskin seperti dia, orang bukan siapa-siapa seperti dirinya, telah mendapat kehormatan untuk menerima perbuatan yang besar dari Tuhan.

Saya rasa, sikap hati seperti inilah yang harus kita miliki dalam setiap aspek pelayanan kita. Siapa sih kita? Bukankah kita ini hamba Tuhan? Maka biarkanlah segala kehendak Tuhan terjadi atas kita.

Tapi sebelumnya, alaskanlah segenap kehidupan kita dalam perilaku yang benar dan berkenan kepada Tuhan. Sadarilah bahwa apapun tugas yang dibebankan Tuhan kepada kita, itu adalah tugas yang besar dan penting. Hargailah.

Ketika kita berhadapan dengan kesulitan dan kemustahilan, percayalah bahwa tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan. Yang penting maukah kita setiap saat di depan panggilan Tuhan dengan rela berkata: jadilah padaku menurut perkataanMu Tuhan.

Leave a Reply