Istriku dan kekasihku tercinta.
Hampir 18 tahun sudah kita bersama dan 14 tahun dalam rumah tangga. Mendayung bahtera rumah tangga ini di atas lautan kehidupan. Menjaga haluan tetap ke tujuan. Meski ada riak dan gelombang, bahkan badai yang menerjang.
Tadinya kita berdua, kini ada tiga bocah kuat yang mendampingi perjalanan. Mereka anak-anak berkat, hadiah dari Tuhan untuk kita jaga. Mereka yang menguatkan dan menenteramkan pada pelayaran yang tak selalu mudah. Susah-senang, sakit-sehat, suka-duka, tawa-air mata, senyum-amarah.
Ada masa-masa bahagia. Senyum dan tawa, serta waktu-waktu yang menggairahkan. Perjalanan demi perjalanan yang makin mendekatkan.
Tapi ada masa juga di mana ombak besar dan badai menghantam. Ada masa di mana semesta seperti berpaling. Getir dan pahit. Luka hati dan keborokan. Air mata. Padu-padan, seperti ramuan busuk berbau tajam. Mual dan menyesakkan dada. Maafkanlah aku.
Tapi kita tetap bertahan. Dan pertahanan butuh kubu perlindungan.
Maka seperti kisah Nehemia yang kita bacakan bersama anak-anak, hari-hari ini, kita perlu membangun kembali “tembok Yerusalem” keluarga kita.
Tembok itu pernah hancur oleh dosa-dosa umatNya. Setelah mendapat ganjarannya, mereka harus membangun kembali tembok itu, supaya dapat berlindung dari musuh.
Begitu pun kita. Kita harus membangun ‘tembok pertahanan’ kita, yaitu mezbah yang kita dirikan bersama anak-anak. Mezbah untuk berdoa, mengenal Tuhan dan FirmanNya, serta hidup dalam pengenalan itu seumur hidup kita.
Pada mezbah itulah, kita letakkan kehidupan yang di dalamnya ada pengajaran akan kebenaran, cinta yang tak terbatas, pengampunan, dan pengorbanan. Dan itu tak bisa dilakukan sendiri-sendiri. Perlu kerja bersama dan bekerja sama, serta berfokus pada visi mula-mula.
Istriku terkasih.
Aku ingat saat pertama kali melihatmu. Ada getar di hati ketika melihat kedatanganmu di center lama di Margonda dulu. Kemudian kita dekat dan berteman dalam berbagai persekutuan dan kesempatan. Aku merasa, dengan bangga, bahwa akulah satu-satunya orang yang bisa mengerti dirimu.
Perasaan yang kemudian membawaku pada keputusan, bahwa ku harus lebih dekat lagi denganmu. Benih-benih cinta, kubiarkan bertumbuh, berkembang, dan mekar, seperti bunga-bunga musim semi di taman hati. Dan rupanya, aku tak merasa sendiri.
5 Juli 2003, menjadi titik berangkat bahtera perkawinan kita. Sejak saat itu, kamulah orang yang ingin kuajak mengarungi kehidupan sampai memutih rambut. Di pelukanmu, aku ingin melepaskan nafas terakhirku.
Kamu juga, bukan? Seperti lagu yang kamu suka:
I wanna grow old with you
I wanna die lying in your arms
I wanna grow old with you
I wanna be looking in your eyes
I wanna be there for you
Sharing in everything you do
I wanna grow old with you
Istriku, ibu anak-anakku.
Keluarga yang kita bangun, bukan keluarga biasa. Sejak semula, kita tahu, ada visi yang terbangun dari hati kita bersama. Keluarga ini akan dipakai untuk kemuliaan Tuhan, di mana saja, kapan saja, baik atau tidak baik waktunya.
Istriku, penolongku yang setia.
Tak ada tempat yang lebih baik untuk menjadi pribadi yang lebih baik, selain bahtera kita. Mari jadikan badai dan gelombang jadi pemicu agar kita lebih kuat lagi, lebih tangguh lagi. Karena sumber kekuatan kita, bukan dari diri kita lagi, melainkan dari Dia yang sudah menebus kita dengan sempurna.
Pelayaran rumah tangga kita masih panjang. Tapi tujuan kita jelas. Di balik awan gelap ada kaki langit, tempat pertemuan kita dengan Tuhan. Seperti camar yang terbang mencari perhentian di Tebing Abadi, ke sanalah kita mengerahkan daya untuk melepaskan sauh.
Istriku, kekasihku.
Selamat ulang tahun. Selamat merayakan cinta kita. Percayalah, segala sesuatu itu takkan pernah sia-sia.
Aku sayang padamu.