Zaman Suharto Lebih Enak, Maksud Ngana?

Benarkah lebih enak zaman Suharto? Kata putrinya, zaman bapaknya dulu lebih tenang dan enak cari makan.

Maksud ngana? Mungkin yang ngana maksud adalah ketenangan dan keenakan yang semu. Ya, semu. Ngana tahu kan bedanya semu dan kenyataan?

Saya besar di lingkungan perkebunan sawit milik negara. Sebagai mandor di perkebunan itu, bapak jelas tak bisa mengelak ketika ada ‘keharusan’ bagi semua pegawai pemerintahan untuk mendukung Golkar.

“Di Indonesia itu hanya ada dua partai dan satu golongan karya,” begitu kata pelajaran di sekolah.

Di rumah, saat pemilu, hanya ada kaus kampanye Golkar, tak boleh ada partai lain. Seluruh komplek perumahan perkebunan hanya menampilkan atribut-atribut Golkar, bukan yang lain. Tak heran kalau pemilu, Golkar selalu menang di sana.

Pemilihan umum sudah bisa dipastikan siapa pemenangnya, bahkan sebelum pesta demokrasi itu dimulai. Eh, demokrasi? Demokrasi ala orde baru, kali ya. Demokrasi di mana Presiden dipilih oleh parlemen yang sudah dikuasai dan disetir pemerintah.

Tenang? Oh iya, sangat tenang. Sebab orang-orang takut untuk menampilkan perbedaan. Bapak pernah cerita mengenai rekannya yang memilih partai lain, hidupnya jadi dipersulit. Tak jarang ada yang dikeluarkan dari pekerjaan.

Dulu, saya ingat, ada masa-masa munculnya penembak misterius atau ‘petrus’, mencekam sekali. Belum lagi berbagai peristiwa berdarah untuk memberangus suara perbedaan. Saat masih kecil saya kurang banyak tahu, karena di rumah tak ada radio apalagi TV.

Kelak saat saya lebih besar dan bisa mengakses informasi dari berbagai sumber, kemudian saya mengetahui berbagai tindakan represif rezim Orde Baru. Tenang? Ya memang tenang, karena dibungkam.

Media juga tak sebebas sekarang, kan? Seingat saya, tak banyak media mainstream yang berani macam-macam menulis soal kebijakan pemerintah. Kalau berani, langsung dibreidel, macam Majalah Tempo, Detik, Editor, Monitor, Sinar Harapan, dan lain-lain.

Sekarang, media tak lagi berada di bawah kontrol penguasa. Pendirian perusahaan media pun mudah. Pun perusahaan yang ala-ala media. Bikin berita apa saja gampang. Dari yang bagus sampai berita sampah. Dari berita bener sampai hoax.

Enak cari makan? Itu ngana saja dan kroni-kroni ngana yang merasa enak cari makan waktu itu.

Mungkin saya kurang tahu enaknya. Sebab pendapatan Bapak sebagai kerani rendahan di perkebunan terlalu kecil untuk membenarkan tentang enaknya cari makan. Tapi tentu saya tetap bangga dengan upaya bapak saya dalam membesarkan dan menyekolahkan kami anak-anaknya.

Sampai kemudian pada akhir-akhir Orde Baru, dunia terasa runtuh ketika mendadak harga-harga naik berkali-kali lipat. Ongkos bus Miniarta jurusan Pasar Minggu – Depok yang biasanya Rp100 untuk mahasiswa (anak saya sampai heran, apa iya waktu itu ongkos cuma Rp100), naik jadi Rp500.

Jangan dibandingkan dengan zaman sekarang, coy. Ongkos jadi Rp500 sudah sangat membebani saya yang merantau dengan kiriman yang tak pasti ada tiap bulan. Makan di kantin pun terasa berat. Biasanya bisa makan nasi campur Rp2.000 saja, tiba-tiba harganya melonjak jadi Rp5.000. Pusing. Untung uang kuliah tak ikut naik.

Kelak saya mengerti bahwa kenyamanan perekonomian berpuluh tahun cuma kenyamanan semu. Krisis moneter 1998 adalah bom waktu yang meledak karena kesemuan yang menghanyutkan itu.

Utang luar negeri menumpuk karena banyak perusahaan swasta yang mendapat pinjaman jangka pendek tapi tak dilindungi dari gejolak nilai tukar mata uang dolar Amerika. Rupiah tertekan dan mengalami depresiasi luar biasa.

Seingat saya, sebelum krisis satu dolar AS sama dengan Rp2.500. Saat krisis terjadi, satu dolar melonjak jadi Rp16.000. Gila kan?

Dana Moneter Internasional (IMF) datang menawarkan bantuan paket bailout. Mereka menuntut langkah reformasi keuangan, menyusul penutupan 16 bank swasta, pengurangan subsidi pangan dan energi (Kalian tak tahu kan kalau harga minyak murah pada zaman Suharto itu karena terus disubsidi besar-besaran), dan BI disarankan menaikkan suku bunga.

Tapi paket itu tak membantu. Apalagi Suharto ogah melaksanakan paket itu sepenuhnya. IMF membiarkan gaya berkuasa Suharto yang membiarkan kroni dan keluarganya melakukan monopoli di banyak sektor. Penutupan 16 bank (kalian tahu tidak kalau beberapa bank itu dikendalikan oleh kroni Suharto) juga memicu penarikan dana besar-besaran pada bank lain.

Yang kaya dan makin kaya ya ngana-ngana. Ngana dan para kroni Suharto lainnya.

Maka meledaklah. Krisis ekonomi dan kerusuhan massal, penembakan mahasiswa-mahasiswa. Disusul turunnya jutaan mahasiswa ke jalan, gedung DPR dikuasai mahasiswa. Puncaknya, Suharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 dan era Orde Baru pun tumbang.

Jadi, menurut ngana, zaman seperti ini yang diinginkan kembali ke Bumi Indonesia?  Ngana sehat?

Mungkin sekarang ada masalah di sana-sini. Tapi saya percaya niat baik pemerintah untuk menghadirkan kehidupan yang lebih baik bagi rakyatnya. Indonesia, kalau menurut saya sih, masih membangkitkan harapan.

Ekonomi mungkin terasa berat karena beberapa harga kebutuhan pokok yang tinggi. Jelas, pemerintah perlu bekerja lebih giat lagi untuk mengubah keadaan. Berilah mereka kesempatan.

Tapi di sisi lain, bukankah kita sudah bisa menegakkan kepala sebagai bangsa yang ekonominya masih melaju positif dibandingkan beberapa negara maju yang sekarang justru dibelit persoalan? Bukankah banyak bangsa yang sekarang melirik kita?

Sangat disayangkan memang masih banyak elite yang asyik masyuk memperkaya diri sendiri dengan korupsi. Tunggu saja, mereka akan mendapat karmanya sendiri. Eh, mereka kroni ngana bukan?

Lalu, bukankah ngana dan kaum segolongan ngana sekarang bebas berkoar-koar mencaci maki pemerintah atau siapapun yang kalian tak suka, tanpa pernah khawatir lagi besok kalian lenyap tak berbekas kayak Wiji Thukul dan beberapa aktivis yang tak pernah diketahui di mana kuburnya?

Kalau ngana ingin kembali ke zaman di mana suara rakyat bisa dibungkam, silakan saja. Saya tidak! Dan mudah-mudahan ratusan juta anak negeri ini sependapat dengan saya.

1 thought on “Zaman Suharto Lebih Enak, Maksud Ngana?

  1. Pingback: Mahasiswa Kristen Siap Mengawal Janji KPU - Petra Online

Leave a Reply