Tentang Atribut Natal dan Keributan yang Tak Perlu

Sudah jadi tradisi, saban Desember ini setidaknya ada dua hal yang diributkan orang di media sosial. Pertama soal pemakaian ‘atribut-atribut’ Natal oleh para non-nasrani dan kedua, soal pengucapan selamat hari Natal.

Sudah lama saya hampir tak punya ‘rasa’ apa-apa lagi mengenai kedua hal itu. Dulu sih, sempat baper juga.

Tapi lama kelamaan, saya kemudian ‘mati rasa’. Terserah, mau ribut enggak ribut. Apalagi kalau cuma keributan pada tataran kata, bodo amat! Hehehe.

Bukan karena saya cape mikirin. Tapi karena saya tahu, itu hanya keributan yang ‘kosong’. Meributkan sesuatu yang tak penting.

Pertama, soal ‘atribut’ Natal, macam topi santa, lonceng, salju, pohon terang, dan sebagainya. Mengapa saya beri tanda kutip pada kata atribut? Sebab sesungguhnya itu cuma pernak-pernik perayaan yang tak ada hubungannya dengan makna Natal sesungguhnya. Jadi, ngapain baper?

Sependapat saya dengan surat terbuka Pdt. Prof. Jan S. Aritonang, Ph.D, Guru Besar Sekolah Tinggi Teologi Jakarta, yang dimuat di situs Petra Online kemarin (baca artikelnya di sini). Pernak-pernik itu erat hubungannya dengan bisnis belaka.

Toko-toko, mal-mal, mau pakai pohon terang segede gunung, topi santa berhias emas, tak membuat makna Natal jadi lebih khidmat atau jadi kurang khidmat. Palingan, itu ambient yang bikin saya sadar bahwa sekarang sudah bulan Desember.

Apalagi lagu-lagu yang diputar di tempat-tempat ramai itu. Banyak lagu-lagu yang sepertinya bertema Natal, tapi sebetulnya enggak ada hubungan sama makna Natal yang sesungguhnya. Yaitu, peristiwa lahirnya Tuhan Yesus Kristus ke dunia.

Sudah lama saya lihat hingar bingar di tempat-tempat keramaian itu tak memberi tempat untuk Yesus sendiri. Ibaratnya begini, ini ‘pesta’ untuk merayakan kelahiran Yesus, bukan? Tapi kenapa yang ulang tahun malah tak hadir di sana?

Kedua, soal ucapan Selamat Hari Natal. Hmm.. bukan sesuatu yang penting juga untuk mendapat ucapan semacam itu dari siapapun. Entah itu teman, kerabat, atau orang dekat.

Kalau ada yang mengucapkan, ya terima kasih. Kemudian saya akan balas dengan ucapan: “Selamat Hari Natal juga buat kamu”. Lha wong Yesus lahir untuk semua orang, bukan?

Kalau tak ada yang mengucapkan, ya nda apa-apa. Rasa syukur yang saya rasakan saban mengingat Natal tak akan jadi berkurang atau bertambah, karena tak ada ucapan selamat Natal dari saudara-saudara non-nasrani. Ibarat kata anak-anak sekarang, woles aja bro. Hehehe.

Hanya, saya akan menggeliat, baper, ketika melihat kelompok-kelompok yang melakukan sweeping di tempat-tempat umum. Itu bukan lagi keributan di tataran kata, melainkan sudah menjadi tindakan. Pemaksaan kehendak. Lalu aparat bukannya mencegah, malah terkesan membiarkan.

Intinya bukan lagi soal pernak-pernik, melainkan soal hilangnya rasa aman akibat pemaksaan kehendak oleh satu kelompok. Saya kira, rasa aman itu adalah hak semua orang, apapun agamanya. Dan tugas aparatlah untuk menjamin rasa aman itu tetap pada tempatnya.

Foto: Pixabay/Schwarzenarzisse

Leave a Reply