Meratap mereka,
mengerang pada luka-luka menganga
Bau kematian menyengat sangat
di bukit mengumbar amarah
Sujudnya tak sanggup menahan murka
Sudahlah, cukuplah,
lalu senyap
lalu senyawa hilang diterjang petaka
Di belahan lain pula
Segara mengamuk meluluh lantak
Tak ada tanah untuk berpijak
Tubuh-tubuh mengalah
hati tertawan terpaksa
Menjemput kematian yang sama
Petaka apa ini?
Seru-seru kami ke awan-awan.
Sengat kematian
Terasa sangat di antara hawa panas membara
Di titian buih-buih lautan yang insyaf
Mengapa?
Sampai kapan?
Sedang mereka di sana, tuan-tuan jahanam
Bersedekap dalam kolam harta dan pakansi
Beku hatinya
Buta matanya
Mereka Ngarsa
Tapi tulada tiada
Nasib-nasib kamikah?
Atau kehendak Baginda belaka?
Dengarlah seru kami di awan-awan, Ayahanda.
***
Kami bicara sudah
Ribuan warsa tiada berubah
Tak mampukah kau takjim?
Memberontak pula seakan lupa
***
Mulutku terkunci dalam keheningan yang panjang
Aku terlena, Ayah.
Aku tak bisa bergerak
Mari, aku bicara
Sebutlah itu doa saja.
CAMAR
untuk korban tsunami di Mentawai dan Merapi
sadis om…
heheheehe