“Seandainya tempat ini masih ada, mencari makan tidak akan sesulit ini.” Ucapan bernama keluh kesah ini muncul dari mulut seorang Fitri, kurang lebih enam tahun lalu.
Fitri. Ia bukan perempuan luar biasa. Perempuan berpupur ini hanyalah seorang penjaja diri di bekas komplek prostitusi Kramat Tunggak.
Sebuah tugas jurnalistik telah menghantarku ke komplek itu di suatu hari, menjelang malam yang larut. Dua botol bir dan kacang asin, menemani obrolan kami sampai jauh malam, sebelum aku pamit.
”Mau kembali ke kapal, besok sudah harus berlayar,” kataku sekenanya. Jujur, aku hampir kehabisan akal saat Fitri memaksa aku tinggal lebih lama dan melanjutkan obrolan di tempat lain.
Sebetulnya kisah ini sudah mengendap begitu lama di ingatan. Ia muncul kembali setelah aku tertumbuk pada sebuah obituari. Ali Sadikin berpulang.
Kramat Tunggak dan Ali Sadikit adalah dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Mantan Gubernur DKI Jakarta itulah sosok yang membangun komplek yang dulu berpagar beton tinggi mengangkang itu.
Di tangan Bang Ali—demikian pensiunan Marinir itu akrab dipanggil, pelacuran dilegalisasi dan dilokalisasi. Demikian pula dengan perjudian.
Olehnya, Jakarta pun menggeliat dengan duit-duit yang mengalir dari bisnis “haram” itu. Rakyat menikmati Jakarta yang bak lampu Aladin, bersolek seusap tangan.
Banyak orang yang mencela dan mencemooh Bang Ali. Tapi, di Kramat Tunggak aku bisa sedikit memahami alam pemikirannya. Pelacuran bukanlah persoalan gampang, sebab ia sudah ada sejak manusia ada.
Bagi Bang Ali, lebih baik pelacuran itu dilokalisasi. Agar ia tak menyebar ke tempat lain. Dan agar ia pun bermanfaat bagi banyak orang.
Di Kramat Tunggak ada ribuan orang yang menangguk rupiah untuk kehidupannya. Mulai dari para penjaja kenikmatan, sampai mereka yang bergantung pada bisnis makanan, penginapan, dan sebagainya.
Saat Kramat Tunggak digusur, ada banyak orang yang bersujud syukur. Tapi ada banyak orang pula yang merasakan dunia seperti terbalik. Mereka kocar kacir, seperti beras tumpah dari tampah.
Tak hanya kehilangan mata pencaharian, itu juga menyebabkan persoalan-persoalan lain. Para penjaja kenikmatan tak lagi terkontrol. Bibit penyakit kelamin pun mengancam tak terkendali lantaran tak ada lagi yang memeriksakan kesehatan secara rutin,
Itu baru satu di antara segunung persoalan, bak tiada habisnya.
Pada akhirnya, Kramat Tunggak pun berlalu, sebagaimana Bang Ali berlalu bersama waktu. Ia menyerah di saat rakyat negeri ini bertabur harap pada sebuah kebangkitan bersama, sebelum terkubur lagi bersama harga BBM yang menjulang.
Ia berpulang di saat negeri ini mulai kehilangan sosok-sosok pemimpin yang bisa menyelami perasaan rakyatnya. Ia menjadi contoh yang berbeda, yang sayangnya, tak sempat kita nikmati lebih lama.
Ia berpulang ke suatu tempat yang sudah menantinya. Tapi kota yang ditinggalkannya, sedang berjalan ke tempat, yang entah di mana ujungnya. Ke bentuk, yang entah apa rupanya.
Bisa jadi ia kelak adalah kota megah bertabur bintang-bintang. Tapi bisa jadi pula ia akan tinggal reruntuhan belaka, seperti tembok Kramat Tunggak itu.
CAMAR