Perjalanan ke Bangkok (2)

Hari kedua

Ini sih harinya kerja dan kerja. Selepas sarapan di resto Four Seasons yang mewah, dilanjutkan dengan peluncuran kamera Kodak EasyShare V610 di ballroom. Ini sih acaranya wartawan lokal karena sesi wawancara untuk wartawan Indonesia disediakan khusus setelah acara tersebut.

Sebelum wawancara makan siang nih. Wahhhhh! Ketemu masakan Jepang lagi. Ada sushi dan sashimi yang uenak. Aku nyobain lagi salad pork. Kali ini rasanya jauh lebih enak daripada di Foodloft.

Wawancara dengan Steve Sasson, sang penemu kamera digital, dan petinggi Eastman Kodak dilakukan di lobi. Ditemani alunan piano, mendenting indah. Semua informasi digali demi tulisan nanti. Tapi hati sih sebetulnya nggak sabaran untuk menjelajahi Bangkok lebih jauh.

Akhirnya kesempatan itu tiba. Pukul 16.00 waktu Bangkok, kami pun bertolak ke Kuil Wat Pho di timur, yang bersebelahan dengan Istana Kerajaan Bangkok. Tak banyak sopir taksi yang mau mengantar kami ke sana. Maklum rush hour, semua orang sedang sibuk pulang kantor. Jalanan dipastikan padat dan macet.

Untunglah ada seorang pengemuda taksi yang berusia lanjut. “Mungkin karena sudah tua dia nggak ngejar setoran lagi, makanya mau ngambil sewa ke rute macet,” kata Agung, wartawan Kompas. Kami pun tertawa. Sementara si bapak tua tidak mengerti apa yang kami bicarakan. “No inglis,” katanya waktu kami naik.

Perjalanan ke Wat Pho melewati China Town atau pecinannya Bangkok. Luar biasa. Hilang semua warna-warni Thailand di tempat ini. Semuanya beraksara Cina. Kebanyakan orang Cina.

Lalu setelah 45 menit berlalu dari hotel, kami pun tiba di pintu masuk Wat Pho. Si bapak tua agak keterlaluan juga. Sudahlah tidak bisa bahasa Inggris, malah minta ongkos lebihan. Alhasil, yang tadinya 87 Bhat jadi 100 Bhat. “ Wan handred ya,” katanya seraya tersenyum nakal. Dasar!

Panas menyengat begitu pintu mobil dibuka. Kuil Wat Pho seakan ada di dalam panggangan. Tapi stupa dan gedung-gedung tua yang menjulang membuat rasa gerah terlupakan. Angin yang berhembus semilir membawa udara sedikit sejuk. Di kuil ini ada arca Buddha berbaring alias Reclining Buddha yang terkenal di dunia.

Ketika memandangnya, ada rasa kagum pada arsitektur dan kekayaan budaya Thailand ratusan tahun silam. Arca dan sebagian gedung itu terbuat dari emas. Orang-orang pun menaruh hormat pada peninggalan budaya itu. Tak ada vandalisme. Turis-turis ramah dan mau saja meletakkan sepatunya di rak yang tersedia. Tak ada yang mau mengotori peninggalan kebudayaan itu.

Bersambung

Leave a Reply