Pada Sebuah Kota (HARI PERTAMA)
Awal pekan lalu aku berkesempatan berkunjung ke Bangkok, Thailand.
Perjalanan pertama meninggalkan Indonesia.. rasanya sukar dilukiskan
Matahari belum memperlihatkan wujudnya
ketika aku melangkahkan kaki meninggalkan rumah, diiringi lambaian kekasihku
Pagi yang dingin, tapi aku tak ingin melepas waktu ini walau sedetikpun
Bagiku perjalanan ini sangat berharga
Pada sebuah kota
Matahari sudah di atas kepala ketika kaki menjejak di Bangkok.
Panas, jauh lebih panas dari Jakarta
Amat jarang aku memahami perkataan orang di sekitar
kecuali “Sha wat dee”.. alias “hallo” atau “salam”.
Dari Jakarta aku sudah membekali diri dengan dua kalimat penting
“Chuay Dhuay” atau “Tolong”
dan “Chan lhong thaang” atau “Aku nyasar nih!”… 😀
Tetapi sedikit kosa kata Inggris rupanya sudah cukup
untuk membawaku menjelajahi Bangkok yang panas dan macet itu.
Senin (29/5) di Kuil Brahma Erawan, 100 meter dari hotel kami, Four Seasons Hotel.
Ratusan orang berkerumun, memanjatkan doa. Kudengar orang-orang berbisik
soal peringatan 60 tahun naik Raja Thailand naik tahtanya.
Wangi dupa terasa semerbak di tengah berisiknya lalu lintas kota. Juga ditingkahi kereta api listrik Skytrain.
Ugh, harinya mal nih.
Meski sudah kutegaskan berkali-kali bahwa kami emoh jalan-jalan ke mal,
tapi ujung-ujungnya tetap saja mal menjadi pembuka kegiatan di sini. “Central” namanya. Tak jauh dari kuil Erawan.
Untung saja foodcourtnya “Foodloft” menyediakan penganan asli Thailand yang menarik, asam manis dan pedas. Maka tak kusia-siakan kesempatan ini. Memanjakan lidah dengan jamuan yang khas itu. Sepiring nasi ketan, sepiring salad pork (tahu kan?) dengan aroma bawang, sereh, dan cabe yang kental, sepiring pork (lagi-lagi) panggang, serta sepinggan kecil sambal masak nan pedas.
Minumnya? Uhm, segelas “iced thai tea” paduan susu dan teh manis, rasanya menyegarkan. Minuman yang rasanya persis “teh tarik” dari Malaysia itu.
Membunuh waktu, teman-temanku memilih menjelajahi seluruh tubuh mal yang mirip dengan Pasaraya Grande itu. Tapi aku nongkrong di sebuah sofa lantai empat. Menikmati semua pemandangan yang tersaji, berbagai rupa orang yang berlalu lalang sembari memutar radio lokal (yang banyak tak kumengerti bahasanya) di handphone.
Dari Central perjalanan dengan kaki dilanjutkan ke MBK, mal yang mirip dengan ITC di sini. Segalanya ada. Menyusuri jalanan yang mulai sepi di malam hari dan orang-orang kantoran yang baru pulang. Mendaki jembatan penyeberangan serta menyaksikan betapa taatnya orang sana tak menyeberang di jalanan.
Juga, mencoba membedakan mana pria dan wanita di balik tubuh dan wajah cantik yang berlalu lalang. Soalnya, waria Thailand tak kalah cantik dan seksi dengan wanitanya, kata seorang teman. Hehehehe
Perjalanan malam ini berakhir di Khao Sarn. Seruas jalan yang ditutup bagi kendaraan pada malam hari, karena diperuntukkan bagi para turis. Panjangnya tak lebih dari 200 meter, lebih pendek dari Malioboro di Yogyakarta dan lebih nyaman dari Jalan Jaksa di Jakarta.
Ratusan orang lalu lalang di sepanjang jalan. Seluruh ras ada di sini. Tumpah ruah dalam keriuhan suasana dan musik yang berdentam dari bar dan restoran yang bertabur. Juga panggilan para penjaja dari kios-kios kecil mereka. “kam hi se, cip se”, katanya dalam dialek setempat.
Inilah sudut Thailand yang memanjakan para backpackers. Pengananan dan akomodasi nan murah. Plus hiburan malam yang terjangkau, mau pijit hanya 250 bhat untuk dua jam, hotel hanya seratusan bhat semalam. Yang lain (….)? Uhm, bukan di sini pusatnya, tapi di Patphong. “Wah.. tergoda nih ke sana!”
Lalu malam beranjak dini hari di sebuah bar dengan musik yang berisik. Berempat kami memesan pitcher bir, tapi yang datang dalam bentuk wadah tower, setengah meter tingginya dengan keran. Untunglah rasa binya pun enak, empat gelas tak terasa di kepala yang mulai mengantuk.
Malam berakhir di Four Seasons, ditemani udara sejuk dan musik jazz dari selayar lebar plasma yang tergantung di dinding. ZZZZ
ded.. mau oleh-olehnya tuk daniel donk :p