Empat Hari Tiga Malam
Mataram – Sumbawa – Lombok
Jumat, 10 Maret 2006
Perjalanan malam Mataram-Sumbawa Besar berakhir di sebuah peraduan, Hotel Tambora, Sumbawa Besar. Letihnya tubuh terlunasi lelap tak seberapa. Selat Mataram yang tertinggal dalam gelap, terlupa dalam tidur.
Sabtu, 11 Maret 2006
Pagi belum mengumpul jiwa. Pukul 06.00 WITA, kupacu Kijang Biru dengan kecepatan tinggi menuju Timur. Orang-orang sudah mulai menggeliat. Garis-garis pembatas jalan bagai berlarian, saling berkejaran dengan pepohonan yang tertinggal. Warnanya putih memantul dari sinar lampu mobil yang belum kumatikan.
Perlahan, nada-nada lembut dari Josh Groban, membuat ujung jemariku bersapa dengan setir. “Perte…. Perte….”
Sesekali Mas Supriyanto Khafid, kontributor kami di Mataram, mengajakku bicara tentang apa saja. Percakapan kami seperti sebuah musikalisasi, diiringi orkestra pengiring Groban dan tarian serta paduan suara bumi Sumbawa. Kuda-kuda mulai meringkik dan sapi mendengus. Uap nafasnya aroma yang tak tercium dari balik kaca mobil.
Matahari mulai mengintip dari ufuk Timur.
Perlahan cahayanya mengintip dari balik pegunungan. Anak-anak sekolah tampak bergegas di jalanan. Kukendalikan mobil dengan hati-hati karena terkadang mereka menyeberang tanpa aba-aba.
Pengangkutan umum seperti dokar yang ditarik kuda mulai berseliweran. Kupapasi mereka yang wajahnya belum puas dari impian semalam. Namun panggilan hidup membuatnya menepis bahasa daging.
Matahari telah menggeliat. Menerobos menyilaukan dari balik kaca. Kututupi dengan pelindung cahaya di atas kepala. Namun mata tetap harus menyipit. Berlomba dengan perhatian pada ruas jalan yang mulai rusak.
“Benar tidak ini jalan ke Bima?” kata Mas Khafid, kepada seorang penduduk karena tak yakin jalan yang kami lintasi adalah jalan lintas provinsi Sumbawa Besar-Bima. Jalan lintas yang bak kubangan batu. Tubuh terguncang-guncang menambah penat.
Kepenatan bak musnah seketika saat di depan mata permadani biru terhampar menyejukkan. Teluk Sumbawa dibingkai hutan lebat, sabana, dan stepa. Sesekali berpapas dengan burung elang yang bermain di tepian jalan, bagai bercanda dengan kelompok-kelompok monyet.
Jalanan membelok tajam, menurun curam, dan menanjak tinggi adalah bayaran pemandangan ajaib itu. Namun tak kupedulikan. Sebab jarang menemukan laut biru bersih dan pantai berpasir putih, jauh dari sampah, bersih dari limbah minyak, dan bebas bebauan busuk seperti ini. Di sini yang adalah bau amis laut, bau harum rerumputan pagi, dan paduan suara kepak-kepak burung aneka jenis.
Tengah hari puncak Gunung Tambora mulai terlihat di kejauhan, meski menyamar di balik awan memutih. Sementara di Utara, Timur dan Baratnya laut masih membiru. Di utara, Pulau Satonda memancing perhatian.
Perjalanan kini tambah berat. Kerusakan jalan mulai panjang. 90an kilometer jalur dari Dompu ke Calabai, setengahnya adalah jalan berbatu.
Batas jalan tak lagi di tengah. Setiap kendaraan cenderung mengikuti ruas jalan baru yang terbentuk di bahu-bahu jalan. Debu mengebul tebal. Kunyalakan pendingin udara mobil dengan sedikit kuatir memandang jarum penunjuk bensin yang mulai merapat titik “Empty”.
Dua jam dari tengah hari kami tiba di Desa Pancasila, 35 kilometer di barat Gunung Tambora. Sejuk di tengah perkebunan kopi yang lebat. Mobil dan Mas Khafid kutinggalkan di Desa ini. Perjalanan kulanjutkan dengan motor sewaan yang setangnya tak lurus dan pemandu yang tak ahli mengendalikan arah. Alhasil aku mencium tanah dua kali. Untunglah tak terluka.
Setengah jam perjalanan, perjuangan menembus jalan tikus dan tanjakan curam serta menyeberangi sungai nan deras berakhir di Desa Tambora. Desa kecil yang berpenghuni sedikit. Dengan bantuan kepala dusun, Sulaiman namanya, perjalanan menuju situs penggalian dilanjutkan dengan berjalan kaki menembus semak dan ilalang berduri selama sepuluh menitan.
Tangan yang mulai tergores ilalang tak kupedulikan sampai kami tiba di bekas penggalian yang kondisinya mengenaskan serta –tentu saja– mengecewakan. Tak ada apapun di permukaan tanah. Semuanya tertimbun karena penggali sebelumnya (vulkanolog dari Mataram dan Rhode Island Amerika Serikat) tak meninggalkan pelindung, apalagi data yang memuaskan.
Setelah mengumpulkan gambar serta mencatat sedikit gejala yang terlihat, aku pulang dengan perasaan gemas. Perjalanan jauh melelahkan, berakhir di bekas galian tanpa arti. Tak ada “Kota Pompeii dari Timur” yang didengung-dengungkan di berbagai media massa itu. Tak ada benda-benda galian yang kabarnya dibawa ke Amerika Serikat dengan dokumen yang tak jelas. Di mataku, inilah penjarahan bumi Indonesia atas nama ilmu pengetahuan.
Sabtu malam di Dompu kuhabiskan dengan istirahat di sebuah hotel kecil di tengah kota. Mencoba membayar kekesalan dengan tidur panjang. Besok perjalanan masih jauh, pulang ke Mataram dengan jalur yang sama, pemandangan yang serupa, dan barangkali dengan kepenatan yang sama.
Minggu, 12 Maret 2006
Perjalanan pulang dengan rute dan kepenatan yang sama terbayar dengan kejadian ala rantai makanan. Di suatu tempat yang berbatas dengan pantai, tiba-tiba seekor biawak besar menyeberang jalan. Ku perlambat laju mobil dan mempersiapkan kamera. Namun apa lacur? Sedetik kemudian seekor elang tiba-tiba mengepak sayap dari tepian jalan. Mencoba menyambar si biawak yang bergegas. Gagal! Pun aku yang gagal mengabadikan momentum itu. Kesal!
Kamera kusiapkan kemudian. Berharap menemukan adegan yang menarik. Tapi nihil sampai aku menyeberang kembali dari Sumbawa Besar menuju Mataram.
Perjalanan melelahkan kuakhiri di Pantai Senggigi, Lombok. Tergiur cerita orang tentang pantai nan eksotis itu, aku tak perduli meski tarif hotelnya jauh di atas budget kantor. Toh, di hotel-hotel sebelumnya aku bisa berhemat. Sayang, aku tiba waktu malam sudah larut. Kubaringkan tubuh di kasur yang empuk, di tengah kesunyian yang tiba-tiba menyergap.
Senin, 13 Maret 2006
Senggigi memang eksotis. Pantainya bersih. Lautnya biru. Serta kesunyian yang menyenangkan. Sarapanku santai di restoran, berharap waktu tak segera berlalu. Perjalanan dari kamar menuju restoran ini, suara burung gagak besar di dahan pohon kelapa yang tinggi adalah warna lainnya.
Kunikmati setiap kerat roti, setiap teguk jus jeruk, dan setiap suapan nasi goreng (maruk yak?), dengan pelan, mencoba bersanding dengan debur ombak di tepian pantai. Di kejauhan perahu-perahu nelayan warna-warni, bak sedang lomba perahu layar.
Lalu kumanjakan kaki dengan pasir pantai. Kuhibur mata dengan kebiruan laut. Kuhela nafas di hembusan angin beraroma khas. Andai kata tak ada kemarin, hari ini, dan besok. Sudah kubiarkan aku melarut dalam semua itu.
Siang itu pula kutinggalkan Nusa Tenggara Barat. Membelah langit dengan si burung besi, menatap laut dan hamparan bumi yang menjauh. Ada cinta yang tertinggal di sana. Cinta pada bumi, laut, ombak, gunung, dan Elang yang merindukan biawak.
16 Maret 2006
Ditulis dari kantor
Seperti aku yang ditinggalkan sahabatku tercinta…>>hikss… ded, i need a sholder.