Suatu siang di gerbang keadilan
Buih mengintip dari bibir menghitam
teriakan mereka kian parau..
Kepalannya tak terlepas sejak subuh
Keringat itu kini membuat kaus lusuhnya
melekat di kulit mereka yang nyaris legam
Bau? entahlah, buktinya dara manis itu tak lekang dari sana.
Suatu sudut aku berdiri
Hanya bisa menatap
Sesekali tersenyum, atau marah
“Bebaskan BHM!”
Teriakan sedikit sumbang
menyembur dari mulut mereka
Tak peduli mentari bagai dua
tak hirau debu dan angin yang bersetubuh
Atau reramaian jalanan
mobil, motor, bus kota, dan pejalan kaki
Suatu sudut aku berdiam
Menyimak kata dalam hening
“Bungkam Pemberangus Pers!”
Serunya lagi.. Sang demonstran
siang itu ingin merangkap raga
Satu raga untuk jiwanya
satu raga untuk masa depannya..
Suatu sudut aku mengiya
satu untuk jiwaku,
satu untuk masa depanku
Hari ini dipertaruhkan
masa depan kebebasan
harapan satu-satunya kemerdekaan
Merdeka bicara, merdeka menilai
Namun nasib kami masih diperbincangkan
Dari ruang kaum pengadil
ditawar dan ditimang-timang
lalu dielus hingga kian gamang
Entah besok, atau lusa
Sang demonstran masih menunggu
Karena bagi mereka hari tak pernah berganti
Sekarang adalah besok dan nanti
Nanti adalah kini dan kemarin
Sampai tak ada lagi ludah yang bisa dimuncratkan
Sehingga tak ada lagi tangan terkepal
Atau bila tak ada lagi nafas menopang sukma
Pun dari suatu sudut
meski diam aku ikut teriak
menoreh kata di baris penuh makna
meski tak bicara aku berkata
Menumpukan harap pada pinta dan doa
Di sini, di suatu sudut
Aku merentang kata dan jala
Karena semangatku sudah ada di sana
Kantorku, 6 September 2004, 15.10 WIB 7312