Pada Sebuah Pemandangan
Sebuah pemandangan menantang mata
menyibak malam pengkhianatan
Darahnya tercurah
Dagingnya tercabik
Tapi, mengapa sulit betul
Hati mereka tersentuh?
Jalan setapak, bagai ribuan hasta
sedang kuk tersandang
Di bahu yang lumer berdarah
Mengapa sarat benar
Putra menanggung perintah Abba?
Di tepian jalan itu
ribuan warsa silam
Putra Abba susah sungguh
Kaum cendekia menyebut
pemandangan tragis itu “Hyperrealis”
Vulgarisme, barbarianisme, terlalu!
Kaum suci meragu
mengganti luka-luka sang Putra
dengan aksara dan kata
Sehingga itu…
Luput kami merasai amis darahMu
Lengah kami mengecap getir piluMu
Lamban kami mewarta cintaMu
Lupa kami berjaga menantiMu
Ribuan warsa
genap sudah janji diseru
Abba bertitah, Putra sendika
“Tetelestai”
Sudah selesai, “Ke dalam tanganMu, Kuserahkan nyawaKu!”
Abba, Tuhan, sang Empu Shakkah-ku
“Ampunilah aku dan mereka!”
Yang lemah daging kami Lalu berdosa
Alangkah gelap siang itu.
Namun, karenanya terang betul seisi hatiku.
7312, kantorku 12.15 WIB