Teng-teng-teng
Lonceng berulang kali
sayup membelah fajar
penanda pagi hari itu..
Jauh kini terdengar
lonceng yang sama berdentang
Bagai pagi berganti siang
Waktu yang takkan kembali
Terkenang aku pada dentang senada
Ketika malam hanya bersama segelintir manusia
Mereka berjaga.. menanti sebuah kelahiran
Mbeeeeee… rupanya ada sekelompok domba dan kambing
Malam itu di sebuah kandang
Mereka sepasang ayah dan bunda
Gembala miskin dan trio pedagang dari timur..
Malam itu bintang bertabur bagai tertawa
Sebuah kerlipnya begitu kentara
bulan ini…
Malam-malam dipaksa serupa
Kandang binatang dipoles sedemikian rupa..
Kumuh memang, tapi kehilangan bau khasnya.
Dan kemana para kambing dan domba?
Malam-malam dipaksa syahdunya..
Bersama kidung-kidung bikinan manusia..
Tak lain cuma sekumpulan nada
merunut menyatu menjadi sebuah syair..
Syair yang entah mengapa
Melupakan makna kehadiranNya.
Malam-malam itu tak lagi sepi..
Di pusat perbelanjaan.. malam itu bertabur diskon
“Sale 70 % off!”
Di pasar-pasar bertabur wewangian bumbu dapur dan kue
“Mentega-menteganya.. mumpung murah!”
Malam-malam itu tak lagi senyap dan sunyi..
Di Gereja ada nyanyian dan tari
Di Gedung lain ada pagelaran dan upacara
Di rumah-rumah ada petuah dan sendawa
Duh, sedihnya..
Rasanya malam yang kudus itu
Hanya seperti pucuk cemara
Tumbuh berkembang lalu melupakan batangnya
Malam kudus itu hanya belaka upacara,
senandung dan belanja
Sedang Dia yang menjadi manusia
Kerap terlupa…
Kupandang langit angkasa
Rupanya para bebintang masih bertabur setia
Kerlipnya pun masih serupa
Pertanda harap itu masih ada
7312, kantorku. 15.02 WIB