Selayang Pandang Pramukaku

Hari ini, tepat sudah 42 tahun Pramuka berulang tahun. Ibarat pria, maka ini adalah usia yang lagi matang-matangnya, semestinya sudah berada di puncak karir. Tapi entah ada kaitannya atau tidak, Pramuka di usia ke-42nya terlihat lebih seperti manusia yang menjelang tua, tidak produktif.

Aku ingat 13 tahun yang lalu, saat pertama kali seragam coklat itu kukenakan. Ada rasa bangga. Betapa tidak, untuk menjadi anggota Pramuka di SMPku bukanlah perkara gampang. Ada berbagai proses dan persyaratan yang musti di penuhi, dan saat itu tak ada unsur kedekatan dengan pembina atau personil sekolah (Dan memang saat itu aku sama sekali tak punya koneksi). Apalagi pembina di SMP itu terkenal sangat keras dan disiplin.

Terbukti, tempaan yang kualami sangat keras. Tamparan dalam arti sebenarnya entah sudah berapa kali kurasakan. Entah itu saat salah berbicara, atau salah memimpin upacara, atau bahkan saat menguji Syarat Kecakapan Umum (SKU) yang di tempat lain rasanya begitu mudah lulusnya. Atau binaannya yang memacu kami untuk maju dan memperkaya diri dengan berbagai ketrampilan, bak Boden Powell-Boden Powell muda.

Bukan isapan jempol kalau kurasakan bahwa aku ditempa di sini. Kepribadianku dibentuk di sini. Dan bukan sekedar jargon, kalau kutegaskan bahwa Pramuka adalah darah dan dagingku. Hingga kini.

Tapi apa lacur. Kian tua, pramuka tampak kian renta dan ditinggalkan. Di kampus, tak ada Unit Kegiatan Mahasiswa yang memancing tawa sinis selain Pramuka. “Gile Lo masih jadi pramuka, masih baris berbaris dong, Sandi, Morse, Semapore.” Di jalanan, ada pramuka-pramuka yang tawuran, saling melempar batu atau menghunus senjata. Tragis dan mengenaskan.

Pramuka pun masih belum lepas dari jerat birokrasi (Koran Tempo 14/8). Bagi Pramuka, kehadiran pemimpin dan pejabat sangatlah penting, namun tak sadar itu menimbulkan ketergantungan. Apalagi pengurus Kwartir banyak yang masih dijabat oleh pejabat. Tengok saja Kwartir Cabang Malang, yang dijabat oleh Sekretaris Daerah Kota Malang. Atau di Jawa Barat yang wakil GUbernurnya duduk sebagai Ketua Kwartir Daerah. Gila!

Ini baru di tataran atas. Bagaimana pula di jajaran anak binaan? Selain tatapan sinis, simak pula banyaknya pandangan apatis. Aku yakin, Pramuka bukan lagi pilihan utama anak didik. Tak usah jauh-jauh, setahun setelah aku duduk di SMU. Aku melihat ada praktek pengharusan siswa menjadi Pramuka. Sabtu, adalah hari seragamnya Pramuka sehingga beberapa oknum di sekolah memanfaatkan momentum itu menjadi proyek pengadaan seragam besar-besaran. Setiap ajaran baru, siswa baru diwajibkan membeli seragam dari sekolah. Warna dan jenis bahan harus serupa, kalau tidak jangan harap dudukmu nyaman sepanjang hari Sabtu, karena beberapa guru dan (Bahkan) Kepala Sekolah melakukan patroli bak Kamtib di pasar.

Alhasil, Pramukaku pun menjadi cemoohan.

Duh, 42 tahun. Ternyata belum mengubah apapun.

Leave a Reply