Selasa (4/8) siang. Matahari kian terik mendera ibukota. Sesosok pria misterius tiba-tiba meledakkan dirinya bersama sebuah mobil. BLUM!! Kaca-kaca gedung tinggi itu berdentingan di aspal yang panas membara. Api menjilat-jilat, dan tempat itu pun kian panas. Tak kalah mengenaskan, sebuah kepala melayang ke lantai lima. Tak bertubuh. Tunggu dulu! Tak cuma kepala, serpihan daging panas, genangan darah, pecahan bola-bola mata, jemari putus, tulang gemerutuk patah.
Hotel Marriott, hunian eksklusif di kawasan eksekutif Jakarta, berubah menjadi Oven Raksasa. Berbeque manusia diobral murah siang itu. Beli-beli… Daging asli, masih berdarah. Ada yang punya gadis-gadis perawan. Atau jejaka-jejaka. Atau mau yang agak alot, ada tuh, punya pak Satpam tua, yang nggak bisa pulang lagi. Ada juga kok punya direktur bank, boleh juga daging bule bo! Lumayan untuk pesugihan, mirip maunya Sumanto itu. Atau adakah Sumanto di sini? Silakan berpesta! Gratis dan masih segar-segar!!! Boleh deh, 100 % Off.
Hanya saja, di hatiku tertinggal tanya. Mengapa tak ada yang memungut tangis pilu? Kenapa tak ada yang memakan rintihan demi rintihan? Mengapa membiarkan derita berlalu begitu saja? Bukankah juga gratis dan masih segar-segar? Fresh from the Oven, Man!!
Ah! Siang itu yang ada cuma pesta darah. Tak ada pestanya air mata. Itu cuma milik korban-korban, yang dagingnya diperebutkan. Untung burung bangkai tak ikutan. Coba kalau ikut, daging manusia ternyata tak lebih berharga dari daging Sapi yang harganya membubung itu. Dagingku dan dagingmu ternyata tak lebih bernilai dibandingkan dengan daging babi yang dikatakan haram itu.
Ups, ada lagi sobat! Masih ingat pesta daging yang sama di Bali?
Ternyata, hari ini ujungnya cuma sebatas acungan jempol dan tawa. Sisanya, jihad kata dia, sumpah serapah kata si korban. Yang mana katamu? Maukah kau berpesta dengan dagingnya Amrozy yang akan dicacah peluru tak lama lagi? Atau membeli (gratis juga kali yaaa?) jerit mereka yang tercabut nyawanya?
Buatku, mungkin itulah kalau tak lagi ada cinta.