CUT

Cut, negeri kita membara

ada amarah dari moncong bedil

menghujam nurani bertanya

desamu kini tak lagi pernah damai

Cut, dara manisku

kerudungmu bernoda merah

sisa darah putra tetangga kita

dia terbujur lunglai

ketika amarah

salah sasaran

“Anakmu pengkhianat!”

seru mereka kepada ayahnya

dan kamu cuma bisa menangis

“Bukan tuan,” isakmu.

Ya Tuhan

Udaranya kini berbau sangit

kematian menjadi sarapan

santapan siang hingga petang

tak jarang

malam pun menjadi ladang pembantaian

Dua gajah bertarung

pelanduknya pun terhimpit

sesak dan kini sekarat

Cut, kekasihku

baju kurungmu nyaris tak menutup tubuh

kulit putihmu, “Perih,” kau bilang.

Telapak kakimu tak lagi mulus

aku ingat dulu kau senantiasa membalurnya

dengan rendaman akar pohon. “Biar halus dan lembut menginjak punggung kanda,” ujarmu suatu malam.

Namun kini telapak impianku itu berdarah, sayang.

Mungkin tak lagi nyaman di punggungku

yang kerap sakit itu

Dan itu sisa pelarianmu kemarin malam

“Jangan perkosa saya tuan!” serumu nyaris tak terdengar.

Cut, gadisku

Kusebut namamu, hanya dari jauh

Mungkin malam ini aku yang jadi pengecut

Desing peluru itu membuatku tersungkur

sementara kau sendiri,

menyongsongnya dengan matamu

yang sinarnya kian pudar

“Indahnya matamu kemana sayang?” tanyaku dalam hati.

“Untukmu kanda, biar aku harus menunggumu di pintu kematian.”

Minggu, 25 Mei 2003

Kantorku

Leave a Reply