Tak ada yang menginginkan sebuah kecelakaan terjadi atas dirinya. Tapi itulah realitas yang terjadi padaku, jumat (11/4) malam yang lalu. Sebuah tabrakan dengan motor yang tak sempat kuperhatikan nomor polisinya melemparkanku ke sisi jalan yang lain, di mana sebuah gerobak dorong milik tukang mie ayam menantiku. “Sudah diincar seminggu kali, makanya kena sekarang,” tutur seorang saudaraku dengan nada bercanda, keesokan harinya.
Alhasil, sebuah luka lebar berdarah tersisa di sisi betis kiriku, berikut luka-luka kecil yang lain. Sebuah rasa sakit juga terasa di tulang ekor, sehingga dudukpun rasanya adalah pekerjaan yang berat.
Tapi entahlah, di balik semua itu, ada rasa syukur kepada Dia yang menciptakanku. Setidaknya malam itu, nafas ini menjadi milikku, kendati pun aku harus mengeluarkan uang yang tak sedikit. Malam itu, aku sempat berpikir sekelebatan, sepersekian detik sebelum motorku menghantam gerobak, “Ah akhirnya aku bertemu denganMU Tuhan.”
Tapi, ternyata belum waktunya. Malam itu, aku hanya harus berurusan dengan si Tukang Mie Ayam yang ngotot meminta aku mengganti gerobaknya senilai Rp 1 juta. Jumlah yang mengernyitkan kening, kendati kemudian dia bersedia menerima “hanya” Rp 350 ribu, itupun setelah dibarengi ancaman, membawa persoalan itu hingga ke polisi.
Maklum, setelah membawa-bawa nama polisi, si penjual yang bernama Awi, yang asal Tegal itu, akhirnya lunglai juga, maklum dirinya tak punya satu tanda pengenalpun, dan memarkir gerobak di pinggir jalan, tepat di seberang U Turn alias belokan, juga perbuatan yang melanggar hukum. Begitu kira-kira penuturan seorang polisi yang kebetulan lewat malam itu.
Malam panjang pun berakhir. Ringisan akibat tusukan jarum berisi bius saja malam itu yang masih terasa, hingga dini hari mengantarku terlelap. Duh! Camar ini ternyata harus berhenti dulu belajar terbang dan memikirkan, bagaimana sebaiknya mengendalikan sayap. Andai saja aku bisa tertawa di sini, maka hanya akan terdengar, HAHAHAHAHAHAHAHAHAH