Sang Chiang

Mungkin kalian tak mengerti apa arti chiang bagi seekor camar seperti aku. Pasti kalian bertanya-tanya mengapa chiang tampak begitu jelas dalam setiap wacana yang aku ungkapkan. Sebabnya hanya satu, sang chiang adalah ibu jiwaku.

Chiang bagi seekor camar seperti aku adalah gambaran kesempurnaan. Di dalam dirinya ada terang yang membuat jiwaku tak diliputi ragu dalam mengepak sayap. Di dalam perkataannya ada madu yang memaniskan hati, seribu makna yang kerap kali tak membutuhkan tafsir.

Ahad besok, genap sudah dua warsa dirinya pergi. Masih terngiang di telingaku, bagaimana pembicaraan kami terjadi dalam setiap kesempatan. Suatu ketika, dia menatapku dengan senyum dan memberiku arah yang benar saat terjadi malapetaka dalam keluargaku. Dia menjadikan dirinya tempat berlabuh hatiku yang kala itu lelah dan membutuhkan istirahat. Di ketika yang lain, dia membuka sayapnya sehingga aku bisa berdiam dalam ketenangan, terlindungi dari kegelapan yang menyambar-nyambar. Dan hampir setiap masa dia mengajarkanku untuk memahami dunia dan tentang terbang.

Hingga akhirnya, Sang Chiang pulang ke rumah Bapa di Surga, Sang Chiang dari Chiangku, yang mungkin begitu merindukannya kembali seperti masa lalu. Kini dia berkata, “Aku akan pergi, kini saatnya bagimu mempelajari yang tersulit dan terberat, yaitu tentang kebaikan hati dan cinta.” “Kesempurnaan itu anakku, bukanlah bicara tentang tempat dan waktu. Melainkan di sini dan sekarang!” “Jangan memandang dirimu terbatas, melainkan sebagai makhluk yang bebas. Bebas dari segala macam keterikatan akan masa lalu, bebas dari kelemahan diri sendiri, bebas dari kata hati yang menyimpang. Di sini dan sekarang, hatimu harus kau berikan untuk menyempurnakan diri. Memaknai tentang kebaikan hati dan cinta untuk kawananmu.”

Lalu tubuhnya tampak berpendar-pendar dalam selimut cahaya menyilaukan, bagai permukaan laut di kala senja. Dan sesungguhnya dia sendiri telah menjadi laut itu sendiri karena cahaya itu larung didalamnya. Permukaannya menjadi tempatku mencari makan. Dan gelombangnya menjadi penuntun aku pulang.

Leave a Reply