Tentang Hati

Suatu ketika ketika sedang terbang menempuh hari, aku tercekat pada satu kesadaran. Seberapa sering aku bicara menyadari soal hati? Utamanya hati Sang Creator, empunya langit dan bumi ini? Seketika aku tergugu pada kenyataan pahit, bahwa kerap kali aku tak pernah memikirkannya.

Baru aku mengerti, itulah sebabnya hidup menjadi sedemikian sulit. Itulah alasannya banyak camar tak mengerti mengapa mereka harus hidup, lalu terperangkap pada rutinitas mencari makan. Seakan tak ada lagi makna yang lain dalam hidup itu sendiri.

Bicara tentang hati, tidak bicara fenomena atau tanda-tanda. Tidak bicara soal eksistensi yang perlu dinyatakan. Melainkan bicara soal iman alias kepercayaan. Bicara soal di sini dan sekarang, sehingga tak ada lagi batasan ruang dan waktu.

Suatu ketika hiduplah seorang nabi di daratan timur tengah. Perjalanan hidupnya menghantar dirinya menjadi seorang pelarian. Maklum kala itu dia menantang sang tiran yang di”dekingi” oleh seorang pengikut setan. “Jangan sebut aku Izebel apabila engkau tidak bernasib sama seperti nabi-nabiku yang kau bunuh!” Teriak sang pengikut setan.

Sang Nabi pun melarikan diri. Bukan karena takut, tapi karena pengikutnya ternyata tak memberinya dukungan. Ketika pertanda diperlihatkan, ketika yang supranatural dinyatakan, mereka terheran-heran dan mengamini, “Terpujilah Tuhan!” serunya sambil tersungkur ke bumi. Tetapi saat semuanya seakan baik-baik saja, dan persoalan datang ke hadapan Sang Nabi, mereka pun lalu membisu.

“Duh Gusti! Mengapa ini terjadi padaku?” Seru Sang Nabi, setelah menempuh perjalanan 40 hari 40 malam dan kelaparan, dan tiba di sebuah gunung. Tapi apa lacur? Sang Creator malah balik berkata, “Mengapa engkau ada di sini? Tempatmu bukan di sini! Pulanglah!”

Akhirnya ini menyadarkanku bahwa penting bagi kita untuk bertahan di tempat seharusnya kita berada, karena ini bicara soal ketaatan. Serta penting bagi kita untuk mempercayai penyertaan Sang Creator, karena ini bicara soal iman. Itulah maknanya menjadi sempurna.

 

Leave a Reply